16th


Seumur hidupku, aku sudah banyak sekali membaca dan menonton cerita cinta. Banyak sekali. Ada yang berakhir bahagia, ada yang berakhir tragis. Yang berakhir tragis tentu sudah jelas adalah kisah-kisah cinta yang apapun alasannya, pasangan itu tidak bisa bersama. Lalu bagaimana sih cerita cinta yang berakhir bahagia? apakah pasangan yang kemudian menikah dan hidup bersama sampai maut memisahkan? Ugh.. sampai sini saja… aku rasanya sudah mau berhenti menulis. Ternyata bahagia ataupun tragis… pada akhirnya… ya cinta itu berakhir. Ada ujungnya.

Anyway… aku beneran berhenti saja menulis ntah apa itu di atas… aku tidak tahu bagaimana kisah cinta kita akan berakhir. Apakah bahagia? Apakah tragis? Who cares? ( Well I do though, a little bit. 😛 ) Sekarang aku hanya mau menulis tentang kita yang sedang berada di tengah. Di bulan keenam belas lebih tepatnya.

It was just our typical night. I told you random things while you were watching YouTube. Kita baru saja selesai berdoa bersama dan aku sedang bercerita tentang teman-temanku yang membagikan IG story konser The Corrs. Aku yang kurang bergaul ini tidak tahu bahwa The Corss mengadakan konser di Jakarta. Dari situ kita pun mencoba mengingat-ngingat lagu-lagu band Irlandia tersebut. Kita sepakat tidak banyak lagunya yang bisa kita ingat, tapi kalau dengar pasti bisa “sing a long”. Kamu kembali menonton, aku masih berusaha mengingat-ingat…hmm… lalu tetiba sebuah lagu muncul di kepalaku… dan aku mulai bersenandung. “Lagu ini beb…. tell me what na nananana…” aduh. bisa kurasakan lirik dan nadanya salah. Kamupun hanya bengong melihatku. Tapi tak lama kemudian kamu menjawabku “What can i do to make you love me?” IYAAAAAA!!! Bener beb! itu dia maksudku.” Aku tertawa bahagia karena kamu bisa mengetahui maksudku walau lirik dan nada yang keluar dari mulutku kacau balau dan tidak tepat.

That moment! I am just truly happy, I have you. I can be wrong in so many things… but I know that moment is one of the “love” moments that I cherish so much between us. You have the capability to know what I mean beyond the things that I incorrectly do. And boi, it annoyed you so much. ha5. So this is 16th. Kita, dua pribadi yang berbeda, terkoneksi dengan cara yang absurd dan menjengkelkan. Kamu yang marah-marah, aku yang tertawa bahagia.

Beb, aku mungkin tidak pintar menyampaikan apa yang begitu besar kurasakan dalam diriku ini. Aku harap melalui tulisan ini, aku bisa mengekspresikannya dan memberitahumu… betapa bahagia dan takutnya aku akan keberadaanmu. Bahagia karena ada seseorang yang bisa memahamiku sekaligus takut kehilangan. I know… pada akhirnya…. kehilangan itu akan terjadi, semakin dalam cinta yang kita rasakan, semakin dalam juga luka karena kehilangan itu akan kita alami. Well… we both know… it’s us and yeah… all of this love shit….worth that much pain… till the end.

Rumah


“Lari!” teriak gadis kecil di sebelahku. Tanpa pikir panjang aku pun berlari mengikutinya. Kami bertiga berlari sekuat tenaga ntah dari apa, melewati sebuah lorong dengan banyak pintu.

“Belok sini… Kirana!” Gadis itu masih memimpin dan dia kini berlari menuju sebuah jendela kayu usang. Aku mengenal jendela ini dengan sangat baik. Aku menahan tangannya yang hendak membuka jendela dan berkata padanya “Tunggu sini, aku akan masuk duluan. Kalau aku segera menutup jendela ini, larilah. Tinggalkan aku dan cari jendela lain. Paham?” Gadis kecil itu mengangguk ragu. Tak menunggu lama aku perlahan membuka jendela dan mengintip. Kulihat sebuah meja panjang dengan banyak berkas. Tanpa suara, akupun membuka lebih lebar lagi dan mulai menyusup masuk. Ketika aku menoleh ke kiri… kulihat lima bayang suster sedang berlari menujuku. Salah satunya berteriak memanggil namaku “KIRANA!”

‘Sial’ bisikku dalam batin. Segera saja kulewati ambang jendela, berbalik dan berkata pada kedua gadis di belakangku “Pergi!” tanpa pikir panjang, jendela kututup dan kukunci.

Dua suster memegang tanganku, satu di kiri, satu di kanan. Mereka mendudukkanku dan melempar berkasku. Aku lihat berkas berisi biodata lengkap dan tulisan bagaiamana aku sampai di panti asuhan ini. Sekilas-kilas kulihat tulisan tangan ‘tanpa ayah’, ‘Ibu tidak dikenali’ dan kulihat juga fotoku saat berusia 3 tahun. Aku duduk terpaku, tidak bergerak. Salah satu suster menceramahiku sambil terisak “kamu butuh diberi perhatian dan disayang…”

Ti…tit..tit… suara bising memecah ceramah suster…

tit…tit tit….tit…tit tit….tit…tit tit…. bunyinya semakin kencang dan suara suster kian menghilang

tit…tit tit….ponselku berteriak mengembalikan kesadaranku, aku pun terbangun membuka kedua mataku.

Oh, mimpi!


Kirana mencari-cari ponselnya di balik selimut dan mengangkat telpon:

“Beib…. pagi sayaaaang! Ayo bangun yuk…”

Ah, suara kesayangan Kirana langsung menyambut dan memeluk dirinya, memberi nyaman yang gelagapan dicarinya sepanjang malam. Kirana tersenyum mendengarnya.

“Beib… ” serak suara Kirana membalasnya.

“Kirana, sayangku, cintaku… ” Sekali lagi Dewa memanggil namanya dan sekali lagi Kirana merasakan selembut-lembutnya angin menyentuh hatinya. Desir halus suara Dewa dengan mudahnya menerbitkan senyum di wajah Kirana dan seketika juga menyalakan cahaya di kedua matanya yang masih berat karena sisa-sia kantuk.

Ini hanya satu pagi yang biasa sejak mereka berdua mulai menjalin kisah bersama. Entah sejak kapan kebiasaan ini mulai ada, Kirana sudah lupa… Sejak kapanpun itu…Dewa tidak pernah sekalipun absen membangunkannya setiap jam 6 pagi. Sekarang, Kirana tidak lagi ingat rasanya bangun pagi tanpa mendengar suara Dewa dan rasanya tidak mau tahu lagi juga. Kirana sudah terlalu menyukai kebiasaan pagi mereka ini dan tidak mau kehilangan. Ya, Kirana tidak mau tahu lagi rasanya bangun tanpa mendengar suara Dewa.

Setelah bercakap-cakap sebentar, Dewa dan Kirana pun menutup telpon pagi mereka.

“I love you… beib…” Demikian Dewa selalu mengakhiri percakapan mereka. Bukan dengan kata bye… tapi beib, dan tepat seperti itulah yang diinginkan Kirana. Kirana alergi dengan perpisahan. Perpisahan macam apapun, bahkan sekecil bertukar kata “bye” mengganggunya. Apalagi jika perpisahan itu menyangkut Dewa, kekasihnya.


Kirana bangun dan duduk di tepi tempat tidurnya. Senyum masih tertata rapih di wajah saat dia melihat pantulan dirinya di cermin. Kirana seketika teringat mimpinya… dia pun merenung. Mimpi itu lagi ya. Mimpi berlari, mimpi dikejar-kejar, mimpi mencari-cari jalan…mimpi demikian memang bukan suatu hal baru bagi Kirana. Mimpi semacam ini sering menghinggapi bunga tidurnya. Membuatnya bangun dengan rasa lelah dan kosong.

Ya, Kirana lelah mencari, lelah melarikan diri dan lelah merasa dikejar-kejar ketakutannya.

Kirana menarik nafas panjang dan sekali lagi melihat pantulan dirinya di cermin. Kirana merapihkan rambutnya yang berantakkan, mengusap poninya ke belakang telinga. Dan dilihatnya anting-anting mahkota masih bergantung di kedua telinganya. Pemberian Dewa kekasihnya. Sekali lagi senyum terbit di wajah Kirana.

Dewa tidak hanya memberikan anting-anting yang membuat Kirana terlihat cantik saat memakainya. Dewa juga memberikan suara-suara yang kerap dirindukan jauh di dalam alam bawah sadarnya. Suara dan kalimat yang tidak pernah didengar dari kedua orang tuanya. Ya, di kehidupan nyata, Kirana bukan yatim piatu dan tidak tinggal di panti asuhan.

Pelarian dan pencariannya di mimpi adalah senyata-nyatanya keinginan terdalam Kirana di hidupnya. Ya, Kirana lelah mencari, lelah melarikan diri dan lelah merasa dikejar-kejar ketakutannya.


Suatu hari Kirana pun berhenti mencari, dia berhenti melarikan diri dan menghadapi ketakutan-ketakutannya… Kirana menerima bahwa dirinya memang butuh disayang dan diperhatikan.

Suatu hari Dewa menyatakan cintanya dan Kirana pun menerima.

Berharap pelarian dan pencariannya sudah berakhir.

Berharap tak lagi ada perpisahan.

Karena Kirana akhirnya menemukan rumah dan Kirana bahagia bisa biasa mendengar suara-suara yang selama ini dirindukannya. Dewa, sudah menjadi satu-satunya rumah, yang selama ini dicari Kirana.


Dear Beiboo,

Kita sungguh membenci jarak yang terbentang memisahkan kita secara fisik. Tetapi ketahuilah walau saat ini yang bisa kulakukan hanya menangkap kehadiranmu dengan kedua mata dan telingaku, kamu sudah… sedang… dan akan selalu menjadi rumah bagiku. Saat ini biarlah kedua mata dan telingaku yang manja mendapatkan asupan dirimu. Begini saja aku sudah cukup bahagia apalagi nanti… saat tiba waktunya seluruh diriku bisa menangkap seluruh dirimu… Menunaikan rindu yang telah lama tertunggak dan berbunga berkali-kali lipat.

Happy Valentine, beibo! My lovely home. I love you.

Menuju Berani


“You’ve walked four kilometers…” sela mba mifit di telingaku. Aku terengah, melambatkan langkahku dan menyadari jalan yang sedang kulewati ini. Ah, rumah itu! Kuberdiri di depan rumah kecil dengan pagar putih di ujung gang buntu. Sewaktu SD dulu aku pernah setiap Selasa dan Kamis sore datang ke rumah kecil itu untuk les bahasa inggris.

Sejumput kenangan terlintas di kepalaku. Aku tersenyum menyambutnya. Kuingat-ingat lagi setiap detailnya. Aku langsung teringat Iggy tentu saja,. Sambil berjalan menuntaskan lima kilometer jalan sore, aku mencecap satu kenangan itu. Kenangan saat Iggy terlihat sangat keren di mata adik perempuannya ini.


Maria kecil seorang penakut dan pemalu. Tidak berani pergi kemana-mana sendirian. Sebagai kakak laki-laki yang baik, Iggy selalu repot-repot menemani Maria. Ketika jam 3 dini hari, Maria terbangun ingin pipis, Maria pasti membangunkan Iggy. Senyenyak apapun, Iggy akan bangun.

“Ko!” Panggil Maria setiap 10 detik sekali, memastikan Iggy tidak pergi meninggalkannya.

“yaaa… Hoaaam!” jawab Iggy mengantuk. Ketika maria membuka pintu kamar mandi, Iggy berdiri terkantuk-kantuk di depan pintu kamar mandi.

“Koko mau pipis juga?” Maria bertanya basa basi.

“Ya,” jawab Iggy.

“Ia dah ngantuk , Ia duluan ya” jawab Maria cepat, takut disuruh menunggu sendirian di depan pintu kamar mandi.

“Ya.”

Maria, si penakut, segera saja masuk kamar tidur tanpa menunggu Iggy.


Sore itu, di depan rumah les bahasa Inggrisnya, Maria teringat sejak kapan dia akhirnya berani ke kamar mandi dini hari tanpa ditemani Iggy.

Saat itu Maria kelas 4 SD. Maria berdiri di depan pagar rumah les, menunggu Iggy menjemputnya. Aneh! Biasanya Iggy tidak pernah telat. Jam setengah 5, Iggy harusnya sudah di depan. Guru les-nya bahkan sudah hendak pergi.

“Maria belum dijemput? Mam duluan ya. Mau, Mam antar?”

Maria menggeleng dan melambaikan tangan pada gurunya. Gelisah dan ketakutan, Maria mulai marah kepada Iggy. Kenapa telat? Iggy mana sih? Ada suara gonggongan anjing di kejauhan. Tak lama Iggy datang. Jalannya agak pincang, telanjang kaki dan dia menenteng sendal kanannya. Kakinya berdarah.

Maria kaget dan segera merasa takut.

“Koko kenapa?” Iggy hanya menggadeng adiknya dan menuntunnya pulang. Rumah mereka hanya 10 menit jalan kaki dari rumah les bahasa inggris Bee Smart. Di tengah jalan, Iggy menemukan sendal kirinya tergeletak. Terpincang dia mengambil dan memakai sendalnya lagi.

Entah darimana, seekor anjing di kejauhan datang sambil menggonggongi mereka. Maria berhenti ketakutan. Iggy menarik tangannya dan berkata dengan tenang.

“Ga usah dilihatin anjingnya, ayo jalan terus. Jangan nangis! Tenang aja.” Anjing terus menggonggongi mereka. Maria takut sekali, susah payah menahan tangisnya.

Suara gonggongan semakin terasa dekat. Degup jantung Maria semkain kencang, ia ingin sekali berlari, tapi tanggan Iggy menahannya. Iggy tetap menuntuk Maria agar berjalan biasa saja. Akhirnya mereka sampai juga di pertigaan dan berbelok memilih jalan menuju rumah. Anjing tersebut berhenti mengikuti mereka. Maria masih erat menggandeng tangan koko Iggy. Iggy sendiri menahan tangis, berjalan pincang. Mukanya terlihat meringis sepanjang jalan.

Mendekati gang rumah mereka, Maria masih ingin sekali berlari, agar cepat sampai rumah. Namun ia khawatir juga dengan Iggy, langkah kecilnya menyamai langkah pincang Iggy. Meski kesakitan, Iggy mencoba berjalan agak cepat.

Sesampainya di depan rumah, Iggy segera masuk dan terduduk di ruang tamu. Ia mengecek lukanya.

“argh!” Air mata mengalir di pipinya yang sok tegar. Maria berteriak, “Mama! Kaki koko berdarah!” Maria tidak tahan lagi, dia menangis tersedu. “Huaaa…” Dilemparnya tas les dan buku bahasa inggrisnya.

“Koko kenapa?” Tanya mama panik.

“Digigit anjing itu tadi pas jemput Ia,” jawab Iggy kesakitan. Mama segera mengambil alkohol dan obat merah untuk merawat luka di kaki Iggy. Maria terus menangis melihat luka di kaki Iggy.


“Koko yang sakit, koq Ia yang nangis! Udah jangan nangis! Ga sakit koq ini!” bujuk Iggy sambil meringis. Maria merasa bersalah dan sedih melihat Iggy terluka karena menjemputnya.

“Ia, malam ini kalo mau pipis, berani ya pergi sendiri. Koko kan lagi sakit kakinya, jadi Ia berani ya” pesan mama sebelum mematikan lampu kamar tidur mereka. Maria sekilas melirik tempat tidur Iggy di seberang. Iggy sudah hampir tertidur. Maria mengangguk dalam gelap. Tidak lama Maria pun terlelap.


Maria tersenyum simpul menikmati sejumput kenangan tentang Iggy, yang tiba-tiba muncul di sore hari ini. Ah, Iggy. Koko nyebelin yang ternyata salah satu penabur benih-benih keberanian dalam diri Maria kecil yang penakut.